top of page
Postingan Instagram Projak.jpg

Solidaritas dalam Pandangan Schopenhauer

seminaritinggikaj

“Suatu tindakan hanya akan mempunyai nilai moral, sejauh didasarkan atas sikap bela rasa.”

-Arthur Schopenhauer-

 

Sahabat-sahabat seperjalanan, apakah kalian pernah mendengar tentang “bela rasa”? Bapa Uskup Ignatius Kardinal Suharyo, dalam Surat Gembala Prapaskah 2024 lalu juga sudah mengangkat tema lain yang mirip, yaitu “solidaritas”.

Mengutip surat gembala tersebut, solidaritas merupakan “ikatan-ikatan yang mempersatukan semua orang dan kelompok-kelompok sosial satu sama lain”.

 

Selain itu, menurut St. Yohanes Paulus II, solidaritas merupakan “ketetapan hati yang kokoh untuk membaktikan diri demi kesejahteraan bersama … karena kita semua bertanggung jawab untuk semua orang.”

 

Nah, ternyata ada seorang filsuf Barat Modern yang punya pandangan menarik juga tentang “solidaritas”. Dialah Arthur Schopenhauer (1788-1860), seorang filsuf yang lahir di Danzig (sekarang Gdansk di Polandia).

 

Etika “penebusan”-nya memuat konsep kesatuan umat manusia dan keterarahan kita untuk membantu sesama.

 

Kehendak

Sebelum mendalami etikanya, kita perlu memahami dulu pemikiran filsafat Schopenhauer. Berangkat dari pemikiran Immanuel Kant, Schopenhauer memahami bahwa ada 2 dunia, yaitu dunia noumenal (dunia ide, tidak nampak) dan dunia fenomenal (konkret, nampak).

 

Akal budi dan pencerapan inderawi manusia hanya dapat mengenal dunia fenomenal. Namun, sesuatu yang merupakan “realitas pada dirinya sendiri” (Das Ding an sich) berada di dunia noumenal dan hanya dapat dipostulatkan ada tanpa mengetahui ciri-cirinya.

 

Bagi Schopenhauer, “Realitas pada dirinya sendiri”, yang masih “gelap” menurut Kant, adalah kehendak itu sendiri.

 

Segala yang nampak (fenomenal) hanyalah bayang-bayang (penjabaran) dari sebuah realitas noumenal yang ia sebut sebagai kehendak (transendental). Sebagai contoh pada manusia, kaki adalah penjabaran kehendak untuk berjalan.

 

Berangkat dari pemahaman ini, Schopenhauer kemudian mengenali bahwa kehendak (hasrat) pada dasarnya tidak akan bisa puas. Misalnya, ketika seseorang lapar, ia makan makanan kesukaannya. Setelah beberapa saat, rasa enak di mulutnya akan hilang dan ia akan merasa bosan.

 

Namun, ketika seseorang tidak berhasil mendapatkan makanan kesukaannya (karena lama mengantre atau terlalu mahal), ia akan kecewa. Dua rasa itu, bosan dan kecewa, adalah kenyataan yang harus diterima. Dengan demikian, bagi Schopenhauer, hidup adalah penderitaan karena ada semacam “ketaktersampaian” pemenuhan kehendak yang berujung pahit

 

Etika “penebusan”

Schopenhauer menawarkan dua jalan keluar dari penderitaan itu, salah satunya yaitu lewat etika “penebusan”. Pada intinya, Schopenhauer mengajak pembacanya untuk berhenti berkutat dengan pemenuhan kehendak sendiri terus menerus. Sebaliknya, mulailah untuk keluar dari diri sendiri (solidaritas).

 

Terkait motivasi untuk bersolidaritas, Schopenhauer juga mengajarkan tentang prinsip individuasi. Prinsip individuasi secara sederhana merupakan konsep kesatuan di tengah keberagaman.

 

Sejalan dengan pemikiran dua dunianya di atas, Schopenhauer mengenali bahwa sekalipun manusia beragam dalam eksistensinya di dunia fenomenal (ada yang cantik atau ganteng, tinggi atau pendek, berhidung mancung atau pesek), manusia tetaplah mempunyai kesatuan realitas di dunia noumenal, yaitu dalam kehendak transendental yang menyatukan semua.

 

Lewat prinsip individuasi, kita sadar bahwa eksistensi individual kita hanya berada di dunia fenomenal, hanya bayang-bayang (penjabaran) dari realitas noumenal.

 

Di sini, Schopenhauer menolak segala bentuk kesombongan diri karena setiap manusia sederajat dan tidak ada yang mempunyai keunggulan lebih daripada sesamanya.

 

Dengan demikian, kita adalah satu keluarga besar umat manusia yang bersatu dalam kesatuan noumenal. Dengan kata lain, ada rasa seperasaan dengan orang lain yang sedang menderita, sedih, atau gembira.

Dari Schopenhauer, kita dapat belajar bahwa pemuasan kehendak itu tindakan yang tiada habisnya dan dengan demikian sia-sia.

 

Kedua, kita belajar bahwa manusia diajak untuk keluar dari dirinya lewat tindakan-tindakan solidaritas. Ketiga, kita belajar bahwa orang lain itu sederajat dengan kita dan patut untuk kita dahulukan.

 

Kembali ke konsep solidaritas menurut St. Yohanes Paulus II di atas, kita akhirnya dapat memahami mengapa solidaritas itu merupakan sebentuk “.. tanggung jawab untuk semua orang.”

 

Schopenhauer telah menjelaskan dengan amat baik bahwa seluruh umat manusia merupakan memiliki kesatuan noumenal yang di dalamnya kita perlu keluar dari diri kita dan bersolidaritas pada orang lain.

 

 

 

Referensi:

 

Gereja St. Leo Agung Paroki Jatiwaringin. “Surat Gembala Menyambut Pemilu dan Ardas KAJ 2024.” Gereja St. Leo Agung. https://leoagung.or.id/web/post/surat-gembala-menyambut-pemilu-ardas-kaj-2024 (diakses 25 Mei 2024 Pkl. 16.16 WIB)


Magnis-Suseno, Franz. 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS, 1997.


Petrus L. Tjahjadi, Simon. Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern. Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS, 2004.

 

 


Gambar : Para Frater Mengadakan Rekoleksi Bersama

 

 

71 views0 comments

Comments


FRATER PROJAK

Seminari Tinggi Santo Yohanes Paulus II 

Keuskupan Agung Jakarta

Jl. Cempaka Putih Timur XXV No. 7-8, Jakarta 10510

Follow Kami 

  • Instagram
  • TikTok
  • Youtube
  • Facebook

©2023 by fraterprojak. Proudly created with Bidel Panggilan

bottom of page