Bacaan Puncta : Lukas 1: 5-25
Dibuat oleh : Fr. Budi Tjenggunawan
Peristiwa Zakharia menerima kabar gembira ini selalu membuat saya tertarik untuk menyandingkannya dengan Maria menerima kabar gembira pada Lukas 1:26-38. Dari yang kita ketahui, keduanya sama-sama bertanya kepada malaikat: bagaimana hal itu mungkin terjadi? Namun, pertanyaan tersebut menimbulkan dua respon yang berbeda. Maria mendapatkan penjelasan, sementara Zakharia mendapatkan hukuman menjadi bisu sampai Yohanes Pembaptis dilahirkan.
Mengapa demikian? Dalam pelajaran Taurat, Romo Jo sering mengatakan bahwa perempuan kerap kali cenderung mendapatkan diskriminasi dalam Kitab Suci. Seperti pada kisah Bilangan 12:1-5, ketika Harun dan Miryam membicarakan mengenai keburukan Musa, Miryam mendapat hukuman kusta sementara Harun tidak mendapatkan hukuman apa-apa. Sementara dalam perikop Lukas ini, yang terjadi malah sebaliknya, yang mendapat hukuman adalah Zakharia.
Menurut tafsir, dikatakan bahwa Maria bertanya dengan penuh iman, sementara Zakharia bertanya dengan penuh keraguan. Namun, saya tidak terlalu puas dengan jawaban itu, karena masalah sikap hati Zakharia dan Maria tidak tertulis secara langsung dalam perikop Kitab Suci.
Ketika membaca ulang perikop ini sekali lagi, barulah saya menyadari poin menarik dari permasalahan ini. Pada ayat 13, malaikat berkata “Jangan takut, hai Zakharia, sebab doamu telah dikabulkan”. Berarti, Zakharia memang pernah berdoa dan meminta keturunan kepada Allah. Namun, ketika doanya dikabulkan, justru ia malah ragu dan bertanya-tanya. Mungkin karena itulah ia dihukum. Berbeda dengan Maria, ia tentu tidak pernah berdoa supaya bisa mengandung sebelum bersuami. Oleh karena itu, agaknya pertanyaan Maria dapat dimaklumi, karena kuasa Allah yang luar biasa yang bekerja pada dirinya.
Nah. Dari poin ini, saya tertarik untuk membahas perihal doa.
Terkadang, tanpa sadar kita tidak menyangka bahwa suatu permohonan yang kita doakan akan terkabul. Atau, permohonan itu sudah kita sampaikan sejak lama hingga kita lupa akan sesuatu yang kita mohonkan itu, seperti yang mungkin dialami oleh Zakharia. Tentu itu merupakan suatu hal yang wajar.
Kita memang senang, tetapi juga justru jadi kaget, bingung, bahkan curiga. Apalagi kalau itu adalah suatu hal yang sudah mustahil untuk terjadi, seperti kehamilan Elisabet di usia tua. Oleh karena itu, kita cenderung pasrah atau bahkan skeptis ketika mendoakan sesuatu yang tampaknya mustahil, atau tak kunjung dikabulkan.
Secara konkret, mari kita mengingat pengalaman pribadi kita masing-masing. Mungkin setiap dari kita pernah memiliki suatu permohonan atau harapan yang selalu kita doakan, tetapi tidak pernah terjadi. Misalnya, kita memohonkan kesembuhan bagi opa atau oma kita yang sudah sakit sejak bertahun-tahun lalu, tetapi tetap tidak kunjung sembuh, atau bahkan malah semakin parah. Atau, mungkin kita pernah berdoa untuk perdamaian keluarga di rumah yang selalu bertengkar karena berbagai macam konflik. Kita telah tekun mendoakan dan memohonkannya setiap hari, tetapi sepertinya tidak ada perubahan sama sekali, malah situasinya semakin berantakan. Kita berdoa supaya orang yang kita benci dapat berubah, tetapi kenyataannya tidak. Mungkin, ada banyak doa-doa kita yang rasanya tidak kunjung dikabulkan oleh Tuhan
Mari kita merenungkan sejenak pengalaman di mana Tuhan seakan tidak mendengarkan doa kita…
Teman-teman yang terkasih,
Bacaan Injil hari ini kiranya mengingatkan kita akan sosok Zakharia yang telah lama mengharapkan keturunan, tetapi tidak kunjung mendapatkannya. Berdoa dan memohon suatu keajaiban tanpa ada tanda-tanda kemajuan tentu sangatlah melelahkan. Namun, kisah kelahiran Yohanes Pembaptis ini menjadi pengingat bahwa permohonan baik yang kita panjatkan tentu akan dikabulkan Tuhan, entah kapan waktunya. Bisa jadi Ia masih menunggu saat yang tepat. Jika Tuhan mengaruniakan anak kepada Zakharia dan Elisabet ketika mereka masih muda, tentu ceritanya akan menjadi sangat berbeda karena tidak sezaman dengan Bunda Maria. Contoh lain lagi, hal ini serupa dengan perjuangan Santa Monika. Seumur hidupnya ia mendoakan agar Agustinus bertobat dan menjadi Kristen, tetapi Tuhan baru mengabulkan doanya pada masa-masa akhir hidupnya. Namun, di situ lah keindahannya. Agustinus bukan hanya bertobat menjadi Kristen, melainkan akhirnya menjadi Uskup, Pujangga Gereja, dan menjadi seorang Santo. Dua teladan ini, Zakharia dan Santa Monika, menginspirasi kita untuk bertekun dalam doa meskipun tak kunjung dikabulkan.
Hal ini tentu mudah untuk dibicarakan, tetapi sulit ketika dihadapkan pada situasi yang tidak pasti. Dalam keadaan seperti itulah, kita diajak untuk setia menjalin relasi dengan Tuhan dengan hati yang percaya dan terus berharap kepada-Nya. Berdoa bukan sekadar perihal meminta sesuatu, atau seperti mengajukan proposal yang kemudian menunggu tanggapan. Kita perlu ingat bahwa sesungguhnya doa adalah salah satu cara kita untuk membangun relasi dengan Tuhan.
Pada akhirnya, kita pun diajak untuk menekuni hidup harian kita. Zakharia mendapatkan jawaban atas doanya ketika ia sedang melaksanakan tugasnya sehari-hari sebagai imam di Bait Allah. Mungkin saja, Allah juga menyapa dan membalas doa-doa kita dalam keseharian yang sangat biasa dan hampir tidak kita sadari. Mari kita juga memohon rahmat agar semakin peka mendengarkan sapaan Tuhan dalam kehidupan kita sehari-hari, sambil terus bertekun dalam doa dengan hati yang percaya. Semoga ketika doa kita akhirnya dijawab oleh Tuhan, kita siap menerimanya dengan hati yang penuh sukacita dan rasa syukur.
Pertanyaan Reflektif
Bagaimana aku membangun relasiku dengan Tuhan melalui doa-doaku selama ini?
Pernahkah aku hampir menyerah atas permohonan-permohonan yang tak kunjung dikabulkan?
Sudahkah aku yakin dan percaya dengan iman, bahwa Tuhan sungguh-sungguh mendengarkan dan akan mengabulkan doaku?
“Jangan kuatir tentang apa pun juga, tetapi dalam segala hal nyatakanlah keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” (Filipi 4:6)
Kemuliaan…
Comments