top of page
Postingan Instagram Projak.jpg

" Ketika Tuhan Berkata 'Tidak' "

Bacaan Puncta : Matius 7 : 7-12

Dibuat oleh : Fr. Gregorius Ian Dwi Setiawan


Bacaan ini mengajak kita untuk membangun relasi yang baik dengan Tuhan, sebuah hubungan yang idealnya seperti Bapa dan anak-Nya. Dalam bacaan ini, terdapat tiga kata kunci yang menjadi pegangan kita dalam menjalin hubungan yang sehat dengan Tuhan: minta, cari, dan ketuk. Minta berarti kita menyadari kebutuhan kita dan memohon kepada Tuhan dengan rendah hati. Cari menunjukkan bahwa kita tidak hanya pasif menunggu, tetapi juga berusaha aktif menemukan apa yang kita butuhkan. Sedangkan ketuk menggambarkan keberanian kita untuk mendekat kepada Tuhan dan membuka hati kepada-Nya. Tiga kata ini menjadi dasar bagi sebuah relasi yang terbuka, bukan hanya sebatas keinginan pribadi, tetapi sebuah hubungan yang tulus dan penuh kepercayaan kepada Tuhan.

Sering kali dalam perjalanan iman kita, ada masanya  kita merasa Tuhan tidak selalu menjawab doa kita sesuai dengan harapan. Kadang-kadang, Tuhan mengatakan “tidak.” Lalu, bagaimana sikap kita ketika hal itu terjadi? Apakah kita akan marah dan merasa Tuhan tidak adil? Apakah kita akan menjauh dan berhenti percaya? Tidak. Tuhan tidak pernah menolak doa kita karena Dia ingin menyakiti kita, tetapi karena Dia tahu apa yang terbaik bagi kita (Mat7:11). Dia bukan sekadar memberikan apa yang kita inginkan, tetapi apa yang kita butuhkan. Relasi dengan Tuhan bukanlah soal transaksi, di mana kita meminta sesuatu dan berharap mendapatkannya begitu saja. Relasi dengan Tuhan adalah soal kepercayaan bahwa apa pun jawaban-Nya, itulah yang terbaik bagi kita.

Namun, tanpa sadar, kita sering kali membangun relasi yang terlalu eksklusif dengan Tuhan. Kita membatasi hubungan itu hanya pada apa yang bisa kita dapatkan dari-Nya. Kita tidak lagi meminta, tetapi menuntut. Kita tidak lagi mencari , tetapi menagih dengan penuh tuntutan. Kita tidak lagi mengetuk dengan hormat, tetapi mendobrak dengan paksa. Relasi ini bukan lagi seperti seorang anak kepada Bapanya, melainkan seperti Aladin dan jin, di mana Tuhan diperlakukan hanya sebagai pemberi keinginan, bukan sebagai pribadi Bapa yang kita kasihi.

Relasi kita dengan Tuhan seringkali tercermin dalam hubungan kita dengan sesama. Kita tanpa sadar menciptakan batas-batas yang membatasi siapa yang kita anggap pantas untuk kita terima dalam kehidupan kita. Bahkan di dalam komunitas sendiri, kita sering membangun eksklusivitas yang membuat kita menutup diri dari orang lain. Sikap ini muncul bukan hanya dari egoisme, tetapi dari rasa takut. Takut kehilangan posisi, takut keluar dari zona nyaman, takut jika sesuatu tidak berjalan sesuai keinginan kita. Kita merasa lebih aman jika segalanya berjalan sesuai rencana kita, tanpa memberi ruang bagi mereka yang berbeda dari kita.

Sebagai calon imam, saya bertanya pada diri sendiri, apakah ini jenis relasi yang ingin saya bangun? Apakah saya ingin menjadi pribadi yang eksklusif, yang hanya membuka diri pada orang-orang tertentu dan menutup pintu bagi yang lain? Hari ini, saya mengajak kita semua untuk belajar membuka diri. Mari kita membangun relasi yang lebih luas, lebih terbuka, dan lebih tulus. Tidak lagi memandang status atau kepentingan pribadi, tetapi melihat setiap orang sebagai sesama yang berharga. Jika kita mampu membuka hati bagi sesama, itu adalah tanda kecil bahwa kita semakin dekat dengan Tuhan. Karena dalam setiap wajah sesama, kita menemukan wajah Bapa sendiri.


Gambar : Rekoleksi Komunitas Para Frater Projo Jakarta
Gambar : Rekoleksi Komunitas Para Frater Projo Jakarta

Comments


bottom of page