"DAYA REFLEKTIF"
- seminaritinggikaj
- 6 Apr
- 3 menit membaca
Bacaan Puncta : Yohanes 8 : 1-11
Dibuat oleh : Fr. Marcelino Valerian Nainggolan
Pada saat saya baru masuk sebagai seminaris KPP di Seminari Wacana Bhakti, saya mendapatkan tempat duduk di kapel di sebelah seorang kakak kelas yang badannya besar, wajahnya seram, dan gaya bicaranya tidak ramah. Saya sangat takut berada di sebelahnya. Selain itu, saya sungkan untuk berbicara dengannya. Saya sebagai seminaris KPP, dan dia sebagai seminaris kelas 2 memiliki gap angkatan yang cukup tinggi. Namun, mau tidak mau, saya harus taat dengan keputusan bidel bahwa saya ditempatkan di situ.
Cara hidupnya setiap pagi membuat saya sangat kaget dengan realitas seminari yang sebenarnya. Saya kira semua seminaris baik dan cara hidupnya teratur. Namun, apa yang saya lihat sehari-hari dalam diri seorang kakak kelas saya ini sangat berbeda. Setelah mazmur kedua ibadat harian dia pergi keluar kapel, dan masuk lagi sebelum misa dimulai dengan kondisi yang sangat wangi dan segar. Lain kesempatan, setelah Kidung Zakharia dia keluar dan tidak kembali ke kapel sampai misa selesai. Kira-kira seperti itulah keadaan hidupnya yang saya lihat setiap hari sebagai seorang seminaris KPP.
Namun, ada jasa yang sangat besar yang ia sumbangkan pada saya. Waktu itu saya belum bisa sama sekali membuka brevir. Setiap kali ada peringatan, pesta, atau hari raya, semua orang bolak-balik buku brevir. Awalnya masih di halaman 420, tiba-tiba pindah ke halaman 1056, tiba-tiba pindah ke halaman 333, dst. Setiap kali dia melihat saya kebingungan, dia selalu menunjukkan kepada saya buku brevirnya sehingga saya tahu halaman berapa yang didoakan saat itu. Dia terus sabar terhadap saya. Hal tersebut terus berlanjut hingga saya mulai lancar membuka buku brevir. Mungkin tanpa dirinya, saya butuh proses yang sangat lama untuk membuka brevir pada saat itu. Pada akhirnya saya menyadari bahwa setiap orang dibalik kekurangannya menyimpan banyak sekali kebaikan. Ada buah-buah kebaikan yang dapat saya petik dari dirinya. Yang tadinya saya menilai atau menghakimi dia sebagai kakak kelas yang “kurang baik”, lama-kelamaan mulai berkurang dan saya bisa mengobrol dengan dirinya.
Romo dan teman-teman sekalian, sepertinya sudah menjadi hal yang natural bagi kita untuk menilai atau menghakimi sesama kita. Seperti dalam Injil yang baru saja kita baca bersama-sama tadi, ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi langsung menghakimi seorang perempuan yang berzina di hadapan Yesus. Cepat sekali bagi mereka untuk menghakimi perempuan ini, padahal yang berzina bukan hanya perempuan, tetapi pihak laki-laki juga berzina. Yesus pun melihat bahwa sebenarnya mereka hanya ingin mencobai diri-Nya untuk melihat apakah Dia menghormati hukum Musa. Maka dari itu, Yesus berkata kepada mereka, “Siapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu” (ay. 7). Perkataan Yesus ini bukanlah suatu hal yang baru. Namun, anjuran bagi orang yang mengajukan tuntutan untuk yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu sudah dicatat dalam Kitab Ulangan (13:9; 17:7). Maka dari itu, hukum Musa untuk mencobai Yesus, dibalas juga dengan hukum Musa.
Maka dari itu, apa relevansinya untuk kita semua? Romo dan teman-teman terkasih, baik sekali bagi kita semua untuk memiliki daya reflektif. Belum tentu apa yang menjadi penilaian kita itu sudah seluruhnya tepat sasaran. Banyak hal yang dapat kita telusuri mengapa seseorang bertindak dan berperilaku demikian. Maka dari itu, daya reflektif memampukan kita untuk menghentikan sementara apa yang menjadi penilaian kita dengan kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat kita pertimbangkan. Daya reflektif memampukan kita untuk menjadi pribadi yang mendalam dan tahu apa yang harus kita perbuat untuk menolong seseorang.
Refleksi sudah menjadi kebiasaan yang sangat dekat dengan kita para calon imam. Kita diajak untuk melihat pengalaman-pengalaman hidup kita secara mendalam berdasarkan kacamata Tuhan. Maka dari itu, refleksi harian atau mingguan yang kita jalani membantu kita untuk memiliki daya reflektif dalam diri kita. Kita dimampukan untuk menjadi pribadi yang mendalam dan tidak langsung menilai seseorang begitu saja. Dengan kata lain, kita dimampukan untuk menjadi pribadi yang reflektif, bukan reaktif; pribadi yang mendalam, bukan dangkal. Dengan menjadi pribadi yang reflektif, kita tidak hanya sampai pada menilai atau menghakimi seseorang, tetapi apa yang dapat kita lakukan untuk membantu dia. Daya reflektif memampukan kita untuk tidak cepat marah; daya reflektif memampukan kita untuk sabar; daya reflektif memampukan kita untuk tabah menghadapi kesulitan; daya reflektif memampukan kita untuk tidak cepat menghakimi; daya reflektif memampukan kita untuk mengampuni; dan daya reflektif memampukan kita untuk bertindak sebagaimana yang Allah kehendaki.
Mari kita terus menerus upayakan kebiasaan refleksi harian atau mingguan. Harapannya, pribadi yang reflektif dan mendalam adalah identitas kita semua.
Maka dari itu, punctum yang dapat kita renungkan adalah untuk memiliki daya reflektif dalam diri kita seperti Yesus sendiri. Semoga kita dapat menjadi pribadi yang mendalam. Amin.

Comentarios